SUARAPELOSOK.COM, LUWU – Program bantuan penyelesaian studi Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Luwu kembali menuai kritik tajam. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan, selama dua tahun berturut-turut (2023–2024), bantuan tersebut bermasalah karena tidak tepat sasaran.
Ironisnya, persoalan yang sama sudah pernah diperingatkan sejak 2023, namun tak kunjung diperbaiki. BPK menyebut Dinsos Luwu tetap menyalurkan bantuan kepada penerima yang sudah tidak berstatus mahasiswa.
“Dinas Sosial tidak melakukan konfirmasi atas status kemahasiswaan penerima, baik langsung ke penerima maupun ke universitas,” tegas BPK dalam laporan auditnya.
Padahal, sasaran program adalah mahasiswa aktif yang sedang menyelesaikan kuliah. Kelalaian ini dinilai sebagai bentuk ketidakcermatan pejabat teknis, khususnya Kepala Bidang Penanganan Fakir Miskin (PFM), dalam melakukan verifikasi.
Kepala Bidang PFM, Irwan Ridwan, tak menampik hal tersebut. Ia beralasan penyaluran tetap dilakukan karena nama penerima sudah tercatat dalam Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) dan sebelumnya mengajukan proposal berdasarkan SK Bupati.
“Penerima sudah keluar biaya saat mengurus proposal. Dari Makassar saja bisa habis Rp500 ribu, lalu saat pencairan juga keluar biaya lagi Rp500 ribu. Sedangkan bantuannya hanya Rp2 juta untuk kuliah di Makassar, dan Rp1,5 juta untuk di Palopo,” kata Irwan.
Namun dalih tersebut dinilai tidak menjawab akar masalah: lemahnya validasi. BPK menegaskan Dinsos hanya menyusun SOP baru setelah temuan 2023, tanpa ada langkah konkret memastikan penerima benar-benar mahasiswa aktif.
Kondisi ini membuat program bantuan studi kembali tercatat sebagai temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pemkab Luwu tahun 2024. Meski tidak mewajibkan pengembalian dana, BPK menuntut perbaikan serius dengan memperketat verifikasi dan validasi sebelum SK penerima ditetapkan.
Fakta berulangnya masalah ini juga memunculkan pertanyaan soal komitmen Dinsos Luwu. Tahun lalu, Kepala Dinsos Hasliana sempat berjanji memperbaiki mekanisme. Tetapi realitasnya, janji itu belum terbukti.
Program yang sejatinya membantu mahasiswa justru berulang kali bermasalah akibat lemahnya pengawasan dan ketidakcermatan dalam penyaluran. (*)