SUARAPELOSOK.COM, LUTIM – Kasus kebocoran pipa distribusi minyak milik PT Vale Indonesia Tbk di Kabupaten Luwu Timur semakin memantik tanda tanya besar. Insiden yang terjadi pada Sabtu (23 Agustus 2025) ini bukan yang pertama. Catatan warga menyebutkan, kebocoran serupa telah terjadi sedikitnya tiga kali dalam setahun terakhir, dengan kasus terbaru diklaim sebagai yang paling parah.
Dampaknya bukan main-main. Sedikitnya 82 hektare sawah di lima desa — Lioka, Baruga, Langkia Raya, Matompi, dan Timampu — kini tercemar minyak. Lebih dari itu, tiga sungai dilaporkan sudah terkontaminasi, dan kuat dugaan aliran limbah berpotensi mencapai Danau Towuti. Jika benar, ini berarti ancaman serius terhadap salah satu ekosistem danau air tawar terbesar di Indonesia.
Legislator Komisi VI DPR RI, Capt. Unru Baso, menilai kasus berulang ini menunjukkan adanya persoalan struktural di tubuh PT Vale. “Ini bukan lagi kecelakaan teknis. Ada indikasi kelalaian sistemik yang tidak pernah dikoreksi,” tegasnya.
Ia mendesak Mining Industry Indonesia (MIND ID), sebagai pemegang saham mayoritas, untuk turun tangan mengaudit sistem distribusi dan keamanan aset perusahaan secara menyeluruh.
Meski PT Vale bergerak cepat dengan membuka posko pengaduan, menyalurkan air bersih, hingga memberikan bantuan logistik, langkah itu dinilai sekadar “penenang sementara”.
Fakta di lapangan menunjukkan kerugian yang jauh lebih besar: petani kehilangan lahan produktif, penduduk kehilangan sumber air bersih, dan ekosistem alami terancam runtuh.
Pertanyaan kritis pun muncul: apakah kebocoran ini akibat pipa yang sudah aus dan tak pernah diperbarui, atau karena kelalaian manusia yang dibiarkan tanpa sanksi? Publik berhak tahu jawaban yang jelas, bukan sekadar pernyataan normatif.
“Kalau terbukti ada kelalaian, manajemen Vale tidak boleh hanya menyalahkan teknisi di lapangan. Tanggung jawab penuh ada pada perusahaan,” ujar Ubas, Sapaan akrab Unru Baso.
Kasus ini memperlihatkan betapa rapuhnya pengawasan industri ekstraktif terhadap lingkungan hidup. Warga Luwu Timur kini bukan hanya menuntut kompensasi, tetapi juga kepastian: sampai kapan ruang hidup mereka harus menjadi korban kebocoran berulang?. (*)